Sate kere Solo merupakan bentuk kreativitas dari masyarakat pribumi pada masa penjajahan. Saking mahalnya harga daging pada saat itu menyebabkan hidangan sate hanya jadi makanan mewah para kolonial dan kaum priyayi.
Kata “kere” berasal dari bahasa Jawa yang kerap kali dipakai oleh masyarakat Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Solo, dan sekitarnya. Kata ini memiliki arti miskin atau tidak punya uang. Hal ini sesuai dengan penampakan sate kere di masa itu.
Sejarah Sate kere
Pada akhirnya masyarakat pribumi menemukan ide cemerlang agar mereka tetap bisa mencicipi citarasa dari sebuah hidangan sate. Terbitlah sate kere yang jadi makanan khas Kota Solo, berupa tempe gembos yang terbuat dari campuran jeroan sapi dan ampas tahu atau tempe, kemudian dibakar dan diberi bumbu kacang layaknya sate daging pada umumnya.
Jadi, posisi daging ini digantikan dengan tempe gembos, tempe bacem, dan berbagai jeroan sapi, mulai dari gajih, kikil, babat, paru, koyor, dan lain-lain. Alasannya dikarenakan tempe gembos jauh lebih murah dan dapat dibuat sendiri oleh masyarakat pribumi. Tak hanya itu, jeroan sapi juga dianggap sebagai limbah oleh para priyayi, hingga akhirnya masyarakat pribumi memanfaatkan hal ini untuk menciptakan sebuah kuliner.
Tak heran kalau sate kere selalu diidentikkan sebagai makanan masyarakat miskin dan kelas bawah. Tapi, di masa sekarang sate kere sudah jadi konsumsi umum seluruh masyarakat Indonesia lho. Hal ini dikarenakan rasanya yang nikmat mirip sate daging pada umumnya, namun bisa kamu peroleh dengan harga super murah.